Kamis, 31 Juli 2025

MAHASISWA: DARI AGEN PERUBAHAN MENJADI AGEN PRAGMATISME?

MAHASISWA: DARI AGEN PERUBAHAN MENJADI AGEN PRAGMATISME?

By. Akbar R. Mokodompit

Sumber Gambar : Di Hasilkan Oleh AI

Dalam konteks pendidikan tinggi saat ini, kampus tampaknya tidak lagi berfungsi sebagai ruang pembibitan gagasan kritis dan radikal, melainkan sebagai pabrik pencetak pencari kerja yang patuh. Mahasiswa yang kerap disebut sebagai “agen perubahan” justru terjebak dalam pusaran pragmatisme yang menggerus idealisme mereka. Orientasi terhadap keberhasilan instan segera lulus, segera bekerja, segera mapan telah menggeser peran mereka dari pengusung gagasan progresif menjadi pelaku kepentingan individual yang sempit dan transaksional.

Di tengah krisis multidimensi bangsa dan semakin timpangnya struktur sosial-ekonomi, mahasiswa yang seharusnya menjadi corong aspirasi publik justru memilih bungkam. Ketakutan kehilangan akses terhadap fasilitas akademik atau kesempatan magang sering kali lebih dominan dibandingkan keberanian untuk menyuarakan kritik terhadap ketidakadilan. Alih-alih memperjuangkan nasib masyarakat kecil, banyak di antara mereka lebih fokus membangun jejaring dengan elite kampus atau kekuasaan, bahkan dengan kesadaran penuh mengorbankan nalar kritis demi keuntungan jangka pendek berupa sertifikat atau pengakuan formal.

Pragmatisme semacam ini lahir bukan dari strategi politik yang matang, melainkan dari rasa takut takut dianggap radikal, takut dimusuhi dosen, atau takut gagal dalam meraih kenyamanan materi. Padahal, kekuasaan yang tidak dikritik cenderung melanggengkan praktik penindasan. Dengan memilih bungkam, mahasiswa secara tidak langsung menjadi bagian dari struktur kekuasaan yang mereka seharusnya lawan.

Idealisme, dalam arti yang sesungguhnya, bukan sekadar mimpi besar yang utopis, tetapi keberanian untuk tetap berpikir waras dan kritis di tengah sistem yang korup. Ketika mahasiswa mengorbankan idealismenya demi kenyamanan, sejatinya mereka sedang menggali kubur bagi masa depan bangsa. Transformasi mahasiswa dari subjek perlawanan menjadi instrumen pelestarian status quo menjadi bukti runtuhnya peran historis mereka sebagai motor perubahan sosial.

Lebih jauh, banyak organisasi kemahasiswaan yang sebelumnya dikenal sebagai pusat gerakan kritis kini bergeser menjadi ruang pencitraan. Diskusi-diskusi substantif digantikan oleh seminar motivasi yang bersifat kosmetik, sementara aksi nyata diganti oleh kegiatan seremonial yang berorientasi pada kepentingan personal. Energi yang seharusnya digunakan untuk merancang strategi perlawanan kini diarahkan untuk memperkaya curriculum vitae dan membangun citra diri. Padahal, masyarakat tidak membutuhkan lebih banyak lulusan yang lihai menyesuaikan diri dengan kekuasaan, melainkan mahasiswa yang berani menggugat ketidakadilan.

Jika mahasiswa kehilangan kepekaan untuk marah ketika rakyat diperlakukan secara tidak adil, maka mereka bukan lagi bagian dari solusi, melainkan bagian dari masalah itu sendiri. Oleh karena itu, pilihan yang dihadapkan pada mahasiswa hari ini bersifat mendasar: menjadi insan akademik yang berpikir kritis, berpihak pada rakyat, dan berani menggugat ketidakadilan; atau menjadi pengecut yang menjual nurani demi kenyamanan semu. Sebab, ketika idealisme dipertaruhkan, siapa lagi yang akan berdiri melawan jika bukan mereka yang memahami dan merasakan langsung denyut penderitaan rakyat?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAHASISWA: DARI AGEN PERUBAHAN MENJADI AGEN PRAGMATISME?

MAHASISWA: DARI AGEN PERUBAHAN MENJADI AGEN PRAGMATISME? By. Akbar R. Mokodompit Sumber Gambar : Di Hasilkan Oleh AI Dalam konteks pendidik...