MAHASISWA: DARI AGEN PERUBAHAN
MENJADI AGEN PRAGMATISME?
By. Akbar R. Mokodompit
Dalam konteks pendidikan tinggi
saat ini, kampus tampaknya tidak lagi berfungsi sebagai ruang pembibitan gagasan
kritis dan radikal, melainkan sebagai pabrik pencetak pencari kerja yang patuh.
Mahasiswa yang kerap disebut sebagai “agen perubahan” justru terjebak dalam
pusaran pragmatisme yang menggerus idealisme mereka. Orientasi terhadap
keberhasilan instan segera lulus, segera bekerja, segera mapan telah menggeser
peran mereka dari pengusung gagasan progresif menjadi pelaku kepentingan
individual yang sempit dan transaksional.
Di tengah krisis multidimensi
bangsa dan semakin timpangnya struktur sosial-ekonomi, mahasiswa yang
seharusnya menjadi corong aspirasi publik justru memilih bungkam. Ketakutan
kehilangan akses terhadap fasilitas akademik atau kesempatan magang sering kali
lebih dominan dibandingkan keberanian untuk menyuarakan kritik terhadap
ketidakadilan. Alih-alih memperjuangkan nasib masyarakat kecil, banyak di
antara mereka lebih fokus membangun jejaring dengan elite kampus atau
kekuasaan, bahkan dengan kesadaran penuh mengorbankan nalar kritis demi
keuntungan jangka pendek berupa sertifikat atau pengakuan formal.
Pragmatisme semacam ini lahir
bukan dari strategi politik yang matang, melainkan dari rasa takut takut
dianggap radikal, takut dimusuhi dosen, atau takut gagal dalam meraih
kenyamanan materi. Padahal, kekuasaan yang tidak dikritik cenderung melanggengkan
praktik penindasan. Dengan memilih bungkam, mahasiswa secara tidak langsung
menjadi bagian dari struktur kekuasaan yang mereka seharusnya lawan.
Idealisme, dalam arti yang
sesungguhnya, bukan sekadar mimpi besar yang utopis, tetapi keberanian untuk
tetap berpikir waras dan kritis di tengah sistem yang korup. Ketika mahasiswa
mengorbankan idealismenya demi kenyamanan, sejatinya mereka sedang menggali
kubur bagi masa depan bangsa. Transformasi mahasiswa dari subjek perlawanan
menjadi instrumen pelestarian status quo menjadi bukti runtuhnya peran historis
mereka sebagai motor perubahan sosial.
Lebih jauh, banyak organisasi
kemahasiswaan yang sebelumnya dikenal sebagai pusat gerakan kritis kini
bergeser menjadi ruang pencitraan. Diskusi-diskusi substantif digantikan oleh
seminar motivasi yang bersifat kosmetik, sementara aksi nyata diganti oleh
kegiatan seremonial yang berorientasi pada kepentingan personal. Energi yang
seharusnya digunakan untuk merancang strategi perlawanan kini diarahkan untuk memperkaya
curriculum vitae dan membangun citra diri. Padahal, masyarakat tidak
membutuhkan lebih banyak lulusan yang lihai menyesuaikan diri dengan kekuasaan,
melainkan mahasiswa yang berani menggugat ketidakadilan.
Jika mahasiswa kehilangan
kepekaan untuk marah ketika rakyat diperlakukan secara tidak adil, maka mereka
bukan lagi bagian dari solusi, melainkan bagian dari masalah itu sendiri. Oleh
karena itu, pilihan yang dihadapkan pada mahasiswa hari ini bersifat mendasar:
menjadi insan akademik yang berpikir kritis, berpihak pada rakyat, dan berani
menggugat ketidakadilan; atau menjadi pengecut yang menjual nurani demi
kenyamanan semu. Sebab, ketika idealisme dipertaruhkan, siapa lagi yang akan
berdiri melawan jika bukan mereka yang memahami dan merasakan langsung denyut
penderitaan rakyat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar