Senin, 07 Juli 2025

Negara sebagai Mesin Kekuasaan Absolut – Membaca Hobbes dalam Cermin Keindonesiaan Hari Ini

 By Akbar R. Mokodompit



Ilustrasi

Thomas Hobbes dalam karyanya Leviathan menggambarkan negara sebagai entitas buatan yang dibentuk manusia untuk menghindari kekacauan. Dalam pandangannya, manusia pada dasarnya hidup dalam kondisi saling mencurigai, saling menyerang, dan tidak ada jaminan rasa aman. Oleh sebab itu, mereka rela menyerahkan sebagian kebebasannya kepada suatu kekuasaan absolut agar hidup tertib dan damai. Negara dalam pikiran Hobbes adalah mesin kekuasaan yang tak boleh dipertanyakan. Sebab jika dipertanyakan, masyarakat bisa jatuh kembali ke dalam kekacauan.

Gagasan Hobbes ini tampak hidup di Indonesia hari ini. Negara makin menunjukkan wajahnya yang kuat, hadir dalam setiap aspek kehidupan warganya. Mulai dari urusan hukum, pendidikan, kebebasan berbicara, hingga kontrol informasi, semua dikendalikan atas nama stabilitas dan ketertiban. Namun pertanyaannya: stabilitas untuk siapa? Ketertiban versi siapa?

Kekuasaan di Indonesia hari ini cenderung menjelma dalam bentuk birokrasi yang kaku dan otoriter, namun dibalut narasi demokratis. Negara membentuk aturan-aturan yang mempersulit rakyat kecil, tetapi memudahkan para pemilik modal dan kekuasaan. Ketika suara rakyat bersuara kritis, negara hadir bukan sebagai pelindung yang merangkul, melainkan sebagai penekan yang membungkam.

Kita menyaksikan bagaimana undang-undang dan kebijakan dibuat tanpa partisipasi publik yang memadai. Protes dianggap gangguan, kritik dianggap ancaman, dan rakyat dianggap beban. Negara menjadi alat sekelompok elite untuk mempertahankan kekuasaan mereka, bukan sebagai alat rakyat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Inilah bentuk modern dari negara sebagai Leviathan, yang tidak lagi menciptakan ketertiban bersama, tetapi mengontrol rakyat demi kenyamanan penguasa.

Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika masyarakat mulai terbiasa dengan situasi ini. Ketika rakyat berhenti bertanya, berhenti melawan, dan berhenti berharap. Ketika kekuasaan menjadi absolut, dan rakyat menjadi objek yang pasrah, maka tidak ada bedanya antara negara yang katanya demokratis dengan negara absolut yang digambarkan Hobbes.

Indonesia bukan Inggris abad ke-17. Kita tidak sedang hidup dalam perang saudara, tetapi kita sedang menghadapi perang wacana, krisis kepercayaan, dan krisis keadilan. Negara seharusnya tidak menjadi kekuatan yang menjauhkan rakyat dari harapan, tapi sebaliknya: menjadi alat untuk mengembalikan kendali rakyat atas masa depannya.

Negara bisa saja kuat, tapi kekuatan itu harus dibatasi oleh kehendak rakyat. Pemerintahan bisa saja tegas, tetapi ketegasan itu harus berpihak pada keadilan. Jika tidak, maka kita hanya sedang hidup dalam mesin kekuasaan yang berjalan tanpa arah, menggilas siapa pun yang mencoba bertanya: untuk siapa kekuasaan ini sebenarnya berdiri?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ketimpangan yang Dilanggengkan

 By Akbar R Mokodompit Ilustrasi Karl Marx menulis Das Kapital bukan sekadar untuk menjelaskan bagaimana ekonomi bekerja, tetapi untuk membo...