By Akbar R. Mokodompit
Thomas Hobbes dalam karyanya Leviathan menggambarkan negara
sebagai entitas buatan yang dibentuk manusia untuk menghindari kekacauan. Dalam
pandangannya, manusia pada dasarnya hidup dalam kondisi saling mencurigai,
saling menyerang, dan tidak ada jaminan rasa aman. Oleh sebab itu, mereka rela menyerahkan
sebagian kebebasannya kepada suatu kekuasaan absolut agar hidup tertib dan
damai. Negara dalam pikiran Hobbes adalah mesin kekuasaan yang tak boleh
dipertanyakan. Sebab jika dipertanyakan, masyarakat bisa jatuh kembali ke dalam
kekacauan.
Gagasan Hobbes ini tampak hidup di Indonesia hari ini.
Negara makin menunjukkan wajahnya yang kuat, hadir dalam setiap aspek kehidupan
warganya. Mulai dari urusan hukum, pendidikan, kebebasan berbicara, hingga
kontrol informasi, semua dikendalikan atas nama stabilitas dan ketertiban.
Namun pertanyaannya: stabilitas untuk siapa? Ketertiban versi siapa?
Kekuasaan di Indonesia hari ini cenderung menjelma dalam
bentuk birokrasi yang kaku dan otoriter, namun dibalut narasi demokratis.
Negara membentuk aturan-aturan yang mempersulit rakyat kecil, tetapi memudahkan
para pemilik modal dan kekuasaan. Ketika suara rakyat bersuara kritis, negara
hadir bukan sebagai pelindung yang merangkul, melainkan sebagai penekan yang
membungkam.
Kita menyaksikan bagaimana undang-undang dan kebijakan
dibuat tanpa partisipasi publik yang memadai. Protes dianggap gangguan, kritik
dianggap ancaman, dan rakyat dianggap beban. Negara menjadi alat sekelompok
elite untuk mempertahankan kekuasaan mereka, bukan sebagai alat rakyat untuk
mencapai kesejahteraan bersama. Inilah bentuk modern dari negara sebagai
Leviathan, yang tidak lagi menciptakan ketertiban bersama, tetapi mengontrol
rakyat demi kenyamanan penguasa.
Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika masyarakat
mulai terbiasa dengan situasi ini. Ketika rakyat berhenti bertanya, berhenti
melawan, dan berhenti berharap. Ketika kekuasaan menjadi absolut, dan rakyat
menjadi objek yang pasrah, maka tidak ada bedanya antara negara yang katanya
demokratis dengan negara absolut yang digambarkan Hobbes.
Indonesia bukan Inggris abad ke-17. Kita tidak sedang hidup
dalam perang saudara, tetapi kita sedang menghadapi perang wacana, krisis
kepercayaan, dan krisis keadilan. Negara seharusnya tidak menjadi kekuatan yang
menjauhkan rakyat dari harapan, tapi sebaliknya: menjadi alat untuk
mengembalikan kendali rakyat atas masa depannya.
Negara bisa saja kuat, tapi kekuatan itu harus dibatasi
oleh kehendak rakyat. Pemerintahan bisa saja tegas, tetapi ketegasan itu harus
berpihak pada keadilan. Jika tidak, maka kita hanya sedang hidup dalam mesin
kekuasaan yang berjalan tanpa arah, menggilas siapa pun yang mencoba bertanya:
untuk siapa kekuasaan ini sebenarnya berdiri?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar