Senin, 07 Juli 2025

Ketimpangan yang Dilanggengkan

 By Akbar R Mokodompit


Ilustrasi

Karl Marx menulis Das Kapital bukan sekadar untuk menjelaskan bagaimana ekonomi bekerja, tetapi untuk membongkar logika eksploitatif yang menjadi jantung dari kapitalisme. Dalam Kapital, Marx menunjukkan bahwa modal bukanlah sesuatu yang netral. Ia adalah alat bagi kelas pemilik modal untuk menindas kelas pekerja. Kapitalisme bekerja dengan menghisap nilai lebih dari tenaga kerja, sehingga keuntungan hanya menumpuk pada satu kelas, sementara kelas lain hidup dalam ketergantungan dan kemiskinan yang struktural.

Ketika kita memotret Indonesia hari ini, gagasan Marx terasa begitu relevan. Meski secara konstitusi Indonesia menyatakan diri sebagai negara dengan sistem ekonomi kerakyatan, dalam kenyataan sehari-hari, sistem ekonomi kita sangat kapitalistik. Privatisasi, liberalisasi, dan penguasaan sumber daya oleh segelintir elite menjadi bukti nyata. Tanah dikuasai korporasi, sumber daya alam diekspor demi keuntungan perusahaan asing, dan kaum pekerja terus dibebani sistem kerja fleksibel yang tidak memberikan jaminan masa depan.

Kelas borjuis di Indonesia tidak hanya terdiri dari para pemilik modal besar, tetapi juga mencakup politisi, pejabat, dan elite partai yang berkolaborasi dengan kekuatan ekonomi. Mereka adalah wajah lokal dari kelas penindas yang digambarkan Marx. Melalui kekuasaan politik, mereka menentukan arah kebijakan negara—dari undang-undang, anggaran, sampai sistem pendidikan—yang semuanya berfungsi melanggengkan dominasi ekonomi mereka. Inilah bentuk kekuasaan kelas dalam wujud nyata: kelas atas membuat sistem, kelas bawah dipaksa taat.

Sementara itu, kelas pekerja di Indonesia semakin tercerai-berai. Buruh pabrik, petani gurem, nelayan miskin, hingga pekerja informal di kota-kota besar, semuanya berada dalam kondisi kerja yang tidak manusiawi. Upah murah, PHK massal, dan tidak adanya jaminan sosial menjadi masalah sehari-hari. Mereka dihisap secara ekonomi, sekaligus dijauhkan dari kesadaran kelas. Negara tak hadir sebagai pelindung, melainkan sebagai pelayan kepentingan modal.

Sayangnya, banyak dari masyarakat Indonesia telah terseret dalam ilusi mobilitas sosial palsu. Ketika seseorang berhasil naik secara ekonomi, ia dianggap berhasil secara individual, tanpa menyadari bahwa sistemnya tetap timpang dan menindas yang lain. Kapitalisme di Indonesia bukan hanya menciptakan ketimpangan ekonomi, tapi juga ketimpangan kesadaran.

Marx menulis Kapital untuk menunjukkan bagaimana sistem ekonomi tidak bisa dilepaskan dari relasi kuasa. Dan Indonesia hari ini adalah cermin dari peringatan Marx: ketika negara membiarkan segelintir orang menguasai alat produksi, maka hukum, moralitas, bahkan pendidikan akan dibentuk sesuai kepentingan mereka.

Dalam kondisi seperti ini, perjuangan kelas bukan lagi romantisme ideologis, tapi kebutuhan untuk bertahan hidup. Maka yang perlu dibangkitkan bukan hanya kesadaran akan ketimpangan, tetapi juga keberanian untuk menantangnya. Sebab jika rakyat tidak sadar mereka sedang ditindas, maka sistem akan terus berjalan dengan tenang, dan ketidakadilan akan dianggap sebagai kewajaran.


Negara sebagai Mesin Kekuasaan Absolut – Membaca Hobbes dalam Cermin Keindonesiaan Hari Ini

 By Akbar R. Mokodompit



Ilustrasi

Thomas Hobbes dalam karyanya Leviathan menggambarkan negara sebagai entitas buatan yang dibentuk manusia untuk menghindari kekacauan. Dalam pandangannya, manusia pada dasarnya hidup dalam kondisi saling mencurigai, saling menyerang, dan tidak ada jaminan rasa aman. Oleh sebab itu, mereka rela menyerahkan sebagian kebebasannya kepada suatu kekuasaan absolut agar hidup tertib dan damai. Negara dalam pikiran Hobbes adalah mesin kekuasaan yang tak boleh dipertanyakan. Sebab jika dipertanyakan, masyarakat bisa jatuh kembali ke dalam kekacauan.

Gagasan Hobbes ini tampak hidup di Indonesia hari ini. Negara makin menunjukkan wajahnya yang kuat, hadir dalam setiap aspek kehidupan warganya. Mulai dari urusan hukum, pendidikan, kebebasan berbicara, hingga kontrol informasi, semua dikendalikan atas nama stabilitas dan ketertiban. Namun pertanyaannya: stabilitas untuk siapa? Ketertiban versi siapa?

Kekuasaan di Indonesia hari ini cenderung menjelma dalam bentuk birokrasi yang kaku dan otoriter, namun dibalut narasi demokratis. Negara membentuk aturan-aturan yang mempersulit rakyat kecil, tetapi memudahkan para pemilik modal dan kekuasaan. Ketika suara rakyat bersuara kritis, negara hadir bukan sebagai pelindung yang merangkul, melainkan sebagai penekan yang membungkam.

Kita menyaksikan bagaimana undang-undang dan kebijakan dibuat tanpa partisipasi publik yang memadai. Protes dianggap gangguan, kritik dianggap ancaman, dan rakyat dianggap beban. Negara menjadi alat sekelompok elite untuk mempertahankan kekuasaan mereka, bukan sebagai alat rakyat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Inilah bentuk modern dari negara sebagai Leviathan, yang tidak lagi menciptakan ketertiban bersama, tetapi mengontrol rakyat demi kenyamanan penguasa.

Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika masyarakat mulai terbiasa dengan situasi ini. Ketika rakyat berhenti bertanya, berhenti melawan, dan berhenti berharap. Ketika kekuasaan menjadi absolut, dan rakyat menjadi objek yang pasrah, maka tidak ada bedanya antara negara yang katanya demokratis dengan negara absolut yang digambarkan Hobbes.

Indonesia bukan Inggris abad ke-17. Kita tidak sedang hidup dalam perang saudara, tetapi kita sedang menghadapi perang wacana, krisis kepercayaan, dan krisis keadilan. Negara seharusnya tidak menjadi kekuatan yang menjauhkan rakyat dari harapan, tapi sebaliknya: menjadi alat untuk mengembalikan kendali rakyat atas masa depannya.

Negara bisa saja kuat, tapi kekuatan itu harus dibatasi oleh kehendak rakyat. Pemerintahan bisa saja tegas, tetapi ketegasan itu harus berpihak pada keadilan. Jika tidak, maka kita hanya sedang hidup dalam mesin kekuasaan yang berjalan tanpa arah, menggilas siapa pun yang mencoba bertanya: untuk siapa kekuasaan ini sebenarnya berdiri?


Sebuah Opini atau Fakta Kembali Tanpa Ruang: Mahasiswa Yang Gagal di Ruang Masyarakat

 By Yasrin A. Abas, Safrin Lamusrin 


Gambar Ilustrasi

Setiap tahun, ribuan mahasiswa dari berbagai pelosok daerah kembali ke kampung halamannya setelah menyelesaikan pendidikan tinggi dengan segudang pengalaman, wawasan baru, dan semangat perubahan. Namun yang sering terjadi bukanlah sambutan hangat atau penyaluran potensi, melainkan keterasingan, ketidakpercayaan, bahkan pengabaian. Mahasiswa yang dulunya aktif berorganisasi, kritis terhadap isu sosial, dan penuh inovasi, justru merasa "kembali tanpa ruang" di tengah masyarakatnya sendiri.

Fenomena ini menyisakan pertanyaan besar: mengapa potensi dan energi besar yang dimiliki para mahasiswa tidak mampu terserap secara optimal di daerah asal mereka? Mengapa para agen perubahan ini justru terpinggirkan, dianggap terlalu idealis, atau bahkan menjadi ancaman bagi kenyamanan status quo? Apakah ini sepenuhnya kesalahan mahasiswa, atau justru ada kegagalan sistemik dalam tata kelola daerah dan budaya lokal?

Kondisi mahasiswa yang pulang ke kampung halaman namun tidak diberi ruang aktualisasi bukanlah cerita baru. Banyak dari mereka yang telah menempuh pendidikan tinggi dengan harapan dapat memberikan kontribusi nyata di daerahnya, justru merasa tidak diakui atau bahkan diabaikan. Fenomena ini mencerminkan adanya ketidaksinambungan antara dunia akademik dan realitas sosial-politik di daerah. Beberapa Fakta menunjukan diantaranya : 

Pertama, Salah satu persoalan utama adalah ketiadaan ekosistem yang memungkinkan mahasiswa untuk terlibat dalam pembangunan lokal. Banyak daerah belum memiliki wadah yang inklusif bagi generasi muda, seperti forum pemuda yang substantif, inkubator kewirausahaan lokal, atau kemitraan strategis antara pemerintah daerah dan alumni kampus. Hal ini membuat semangat inovatif mahasiswa seperti terhenti di pintu gerbang kampung halaman mereka sendiri.

Kedua, Di beberapa daerah, kultur sosial yang sangat hierarkis membuat suara mahasiswa sering dianggap belum pantas didengar. Pengalaman organisasi dan kepemimpinan mereka kerap tidak dianggap karena status usia, ketidakterlibatan dalam “struktur kekuasaan lokal,” atau bahkan dianggap sebagai “pembangkang” karena cara berpikir mereka yang kritis. Ini menciptakan jarak psikologis antara mahasiswa dan tokoh-tokoh lokal, serta menyuburkan sikap skeptis terhadap kontribusi kaum muda.

Ketiga, Dalam banyak kasus, tidak ada jembatan yang menghubungkan dunia akademik dengan kebutuhan praktis daerah. Padahal, mahasiswa adalah bagian dari “produk” pendidikan tinggi yang idealnya mampu menjawab tantangan lokal. Sayangnya, pemerintah daerah jarang menjadikan perguruan tinggi sebagai mitra strategis pembangunan. Akibatnya, mahasiswa yang pulang pun tidak tahu harus ke mana membawa ide dan keahliannya.

Yang keempat Di sisi lain, sebagian mahasiswa juga datang dengan semangat besar namun minim strategi komunikasi sosial. Gagasan mereka bagus, tetapi penyampaiannya tidak memperhitungkan konteks budaya, struktur sosial, dan norma masyarakat setempat. Ini membuat niat baik mereka disalahpahami, atau bahkan dianggap menggurui.

Fenomena mahasiswa yang “kembali tanpa ruang” mencerminkan kegagalan sistemik dalam menyinergikan potensi kaum terdidik dengan pembangunan daerah. Di satu sisi, mahasiswa datang dengan bekal intelektual, pengalaman organisasi, dan semangat perubahan. Namun di sisi lain, mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa daerah tidak memiliki sistem yang siap menampung, apalagi memberdayakan energi tersebut. Budaya sosial yang hierarkis, lemahnya kolaborasi antar lembaga, hingga minimnya ruang partisipasi publik menjadikan kontribusi mahasiswa terhenti sebelum sempat dimulai. Ini bukan semata kegagalan individu, tetapi juga kegagalan struktural yang perlu disadari dan dibenahi secara kolektif.

Oleh karena itu penulis merekomendasikan beberapa saran diantaranya : (1). Pemerintah DaerahPerlu Membuka Ruang Partisipasi yang Nyata bagi Kaum Muda Pemerintah daerah sebaiknya membentuk forum kolaboratif yang melibatkan mahasiswa, alumni kampus, dan tokoh masyarakat dalam perencanaan pembangunan lokal. Ruang ini harus bersifat terbuka, setara, dan menjamin bahwa ide serta kritik mahasiswa tidak hanya didengar, tapi juga diakomodasi dalam kebijakan. (2). Kemitraan strategis antara perguruan tinggi dan pemerintah daerah penting untuk menjembatani potensi mahasiswa dengan kebutuhan lokal. Program seperti Kuliah Kerja Nyata Tematik, magang di instansi daerah, atau riset terapan berbasis kebutuhan lokal bisa menjadi jembatan efektif. (3) Mahasiswa juga perlu dibekali kemampuan literasi sosial dan komunikasi lintas generasi. Kemampuan membaca konteks budaya, bersikap rendah hati, serta membangun relasi sosial yang kuat dengan masyarakat setempat adalah kunci agar gagasan mereka diterima dan dapat diwujudkan.

Rabu, 02 Juli 2025

PERKENALAN BLOG HMJ IHK PPKN

PERKENALAN BLOG HMJ IHK PPKN

    Blog ini merupakan media resmi yang berada di bawah naungan Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum dan Kemasyarakatan, serta dikelola secara langsung oleh Bidang Penalaran dan Keilmuan. Blog ini bertujuan sebagai wadah untuk menampung, membagikan, dan mengembangkan gagasan-gagasan kritis serta karya tulis ilmiah mahasiswa. Adapun jenis tulisan yang akan dipublikasikan di blog ini mencakup berbagai bentuk, antara lain:

  1. Artikel Populer, Artikel Opini
  2. Puisi 
  3. Hasil Analisis
  4. Resume Buku
  5. Puisi atau 
  6. Cerpen
Tulisan bisa dikirim di E-Mail : hmjihkppkn@gmail.ung 


Selasa, 24 Juni 2025

INKONSITENSI DAN DINAMIKA KURIKULUM PENDIDIKAN INDONESIA

 


Oleh : Yasrin A. Abas

Indonesia merupakan salah satu negara yang menunjukkan frekuensi perubahan kurikulum yang relatif tinggi, terutama dalam kaitannya dengan dinamika perubahan kepemimpinan dan kebijakan politik nasional. Sejak kemerdekaan, sistem pendidikan Indonesia telah mengalami setidaknya sepuluh kali pergantian kurikulum, yaitu: Kurikulum 1947, Kurikulum 1952, Kurikulum 1964, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 beserta Suplemen Kurikulum 1999, Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi), Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), Kurikulum 2013 (K-13), hingga Kurikulum Merdeka yang mulai diimplementasikan pada tahun ajaran 2022/2023.

 Ketidakkonsistenan dalam penerapan kurikulum nasional menimbulkan risiko yang signifikan terhadap proses pembelajaran peserta didik di Indonesia. Salah satu dampak yang paling sering muncul di lingkungan sekolah adalah kebingungan siswa dalam memahami materi serta meningkatnya kesulitan dalam mengikuti proses belajar mengajar. Ketidakstabilan kurikulum juga berkontribusi terhadap kesenjangan pengetahuan, baik antar generasi siswa maupun antar wilayah, khususnya ketika mereka dihadapkan pada tuntutan pembelajaran baru yang belum diimbangi dengan kesiapan sistem pendukung yang memadai. Pergantian kurikulum yang tidak disertai dengan proses transisi yang efektif dapat memperburuk ketimpangan mutu pendidikan dan membebani peserta didik dengan penyesuaian yang terlalu cepat.

              Salah satu permasalahan mendasar dalam sistem pendidikan di Indonesia adalah kurangnya integrasi antara materi teoretis yang diajarkan di kelas dan penerapannya dalam konteks kehidupan nyata. Banyak peserta didik merasakan bahwa isi kurikulum cenderung bersifat abstrak dan kurang relevan dengan permasalahan praktis yang mereka hadapi sehari-hari. Studi yang dilakukan oleh Rina et al. (2022) dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan mengungkapkan bahwa sekitar 70% siswa merasa belum siap memasuki dunia kerja setelah menyelesaikan pendidikan formal. Temuan ini menunjukkan bahwa kurikulum yang diterapkan belum secara optimal membekali siswa dengan kompetensi dan keterampilan kontekstual yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan masa depan, termasuk dalam aspek profesional maupun sosial.

Selain itu, frekuensi perubahan kurikulum yang cukup tinggi turut menjadi faktor yang mengganggu kontinuitas proses pendidikan di Indonesia. Setiap kali terjadi pergantian kurikulum, pendidik memerlukan waktu dan pelatihan khusus untuk memahami serta mengimplementasikan kurikulum yang baru, sementara peserta didik dituntut untuk segera beradaptasi dengan materi pembelajaran yang sering kali berbeda dari sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Santoso dan Rahmawati (2021) menunjukkan bahwa ketidakstabilan kurikulum dapat berdampak negatif terhadap kualitas pembelajaran dan berkontribusi pada menurunnya minat siswa terhadap proses pendidikan. Dengan demikian, diperlukan analisis yang komprehensif terhadap implementasi kurikulum yang sedang berlaku, guna merumuskan solusi yang lebih tepat untuk meningkatkan relevansi dan efektivitas pendidikan nasional.

 Permasalahan kedua yang menjadi hambatan dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia adalah adanya kecenderungan untuk mempolitisasi berbagai aspek kehidupan, termasuk sektor pendidikan. Politisasi ini menciptakan jurang yang dalam bagi kemajuan bangsa karena mengganggu arah dan konsistensi kebijakan yang telah dirancang sebelumnya. Sistem pendidikan, sebagai fondasi utama pembangunan bangsa dan pembentukan generasi penerus, menjadi salah satu sektor yang paling terdampak. Pendidikan memegang peran krusial dalam menentukan masa depan bangsa, sebab tongkat estafet kepemimpinan dan pembangunan akan diwariskan kepada generasi muda. Oleh karena itu, peningkatan kualitas SDM harus menjadi prioritas utama, khususnya bagi pemerintah dan Kementerian Pendidikan. Ketimpangan kualitas SDM di berbagai wilayah juga menimbulkan konsekuensi tersendiri terhadap pertumbuhan dan perkembangan negara secara keseluruhan.

  Situasi ini menjadi persoalan besar dalam dunia pendidikan, sehingga dibutuhkan kemandirian kurikulum sebagai respons terhadap kecenderungan penggunaan kurikulum untuk kepentingan politik di Indonesia. Kemandirian kurikulum merujuk pada sistem kurikulum yang terbebas dari intervensi kepentingan politik jangka pendek, dan lebih berorientasi pada kebutuhan serta kepentingan peserta didik. Upaya menuju kemandirian ini dapat diwujudkan melalui pelibatan berbagai pemangku kepentingan seperti pendidik, ahli pendidikan, akademisi, serta masyarakat dalam proses perumusan dan evaluasi kurikulum. Pelibatan tersebut akan memastikan bahwa kurikulum yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kebutuhan nyata di lapangan serta aspirasi peserta didik, bukan sekadar agenda politik kelompok tertentu. Di samping itu, prinsip transparansi dalam proses perumusan kurikulum juga sangat penting. Dengan adanya keterbukaan informasi, masyarakat dapat mengawal dan memahami proses pengambilan keputusan kurikulum, sehingga mencegah potensi manipulasi kurikulum untuk tujuan politik yang mengabaikan kepentingan pendidikan secara substansial.

 Secara konseptual, kajian politik pendidikan berfokus pada peran negara dalam mengelola dan mengarahkan sistem pendidikan. Kajian ini bertujuan untuk menjelaskan asumsi, kepentingan, serta strategi perubahan pendidikan dalam konteks masyarakat secara lebih mendalam. Melalui pendekatan ini, kita dapat memahami keterkaitan antara kebutuhan politik negara dan isu-isu praktis yang terjadi di sekolah, seperti kesadaran kelas, serta bentuk-bentuk dominasi dan subordinasi yang dibangun melalui sistem pendidikan. Dalam konteks Indonesia, dinamika perubahan kurikulum mencerminkan realitas politik dan tantangan struktural yang dihadapi oleh sistem pendidikan nasional. Meskipun perubahan kurikulum sering kali didorong oleh keinginan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan menyiapkan peserta didik menghadapi masa depan yang semakin kompleks, frekuensi perubahan yang terlalu tinggi justru dapat mengganggu stabilitas, konsistensi, dan efektivitas proses pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu, pemahaman terhadap politik pendidikan menjadi penting agar setiap kebijakan kurikulum tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga reflektif dan berkelanjutan.

 Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, mendefinisikan pendidikan sebagai proses tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak, dengan tujuan untuk mengarahkan seluruh potensi kodrati yang dimiliki anak agar mereka, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Pandangan ini menegaskan bahwa esensi pendidikan bukan sekadar mentransfer pengetahuan, tetapi juga membentuk manusia seutuhnya yang mampu hidup bermakna dalam masyarakat. Oleh karena itu, segala bentuk perubahan kebijakan, termasuk perubahan kurikulum, seharusnya tidak terjebak dalam kepentingan sesaat atau politis, melainkan berorientasi pada pengembangan potensi peserta didik secara holistik. Dalam konteks inilah, penting untuk menata sistem pendidikan yang konsisten, relevan, dan berkelanjutan guna mewujudkan cita-cita pendidikan nasional sebagaimana digariskan oleh Ki Hajar Dewantara.


Kamis, 29 Mei 2025

Mengapa Rapat Organisasi Anda Seperti Drama Tanpa Akhir ?

By Safrin Lamusrin, Yasrin A. Abas, & Umar Rahman



Dok. HMJ IHK-PPKn

    Mengapa Anda memiliki rapat organisasi yang terlihat seperti sinetron tanpa mengakhirinya ? Dimulai dengan banyak orang , berlanjut dengan berbagai argumen panjang , dan berakhir tanpa keputusan yang dibuat dengan jelas . Jika demikian halnya , maka banyak organisasi menghadapi masalah yang sama : rapat yang perlu menjadi topik diskusi dan pengambilan keputusan yang berubah menjadi perdebatan tentang panjang tanpa solusi . Bagaimana ini bisa terjadi ?

1. Terlalu Banyak Bicara, Sedikit Kesimpulan

        Salah satu alasan utama alasan Mengapa organisasi berakhir dengan dramatis adalah karena selalu ada banyak pertanyaan yang tidak dapat dijawab. organisasi akhirnya menjadi dramatis adalah bahwa selalu ada banyak pertanyaan yang tidak dapat dijawab. cara yang dramatis. mereka yang senang mengulang-ulang paragraf yang sudah ditulis, yang lain yang mengemukakan ide-ide baru yang tidak relevan, dan ada pula yang merasa harus menjelaskan keberadaan mereka dengan cara yang ringan. Ada adalah orang yang senang menggunakan poin yang sudah pernah dibahas, ada yang membuat komentar baru yang tidak relevan, dan orang-orang ituyang sekadar perlu menjelaskan keberadaannya dengan cara yang jelas dan ringkas. yang gemar menggunakan poin-poin yang sudah pernah dibahas, sebagian yang mengemukakan komentar-komentar baru yang tidak relevan, dan sebagian yang sekadar perlu menjelaskan keberadaannya dengan cara yang jelas dan ringkas Apa adalah hasilnya? hari ini seperti apa adanya, maka jangan heran jika organisasi Anda berada di tempat yang tepat. Waktu habis untuk diskusi tidak fokus, dan keputusan penting justru terabaikan. Jika semuanya tampak sepertinya, maka jangan heran jika organisasi Anda berjalan di tempat.

2. Tidak Ada Agenda yang Jelas

        Ibarat perjalanan tanpa peta tanpa agenda. Setiap seseorang harus berkumpul , berbicara, dan lalu bingung. Agenda yang tidak jelas akan menimbulkan diskusi tentang bagaimana cara melanjutkannya , dan pada akhirnya , tidak ada kesimpulan yang spesifik. diskusi tentang cara melanjutkan , dan pada akhirnya, tidak ada kesimpulan yang spesifik. Akan lebih baik jika semua orang memulai dengan agenda yang jelas dan fokus pada poin - poin yang disebutkan di atas. Akan lebih baik jika semua orang memulai dengan agenda yang jelas dan fokus pada poin -poin yang disebutkan di atas. Jauh lebih efisien dan tidak merusak!

3. Terlalu Banyak Orang, Terlalu Banyak Pendapat

        Semakin banyak pikiran kreatif, semakin banyak hal yang terjadi.  Ini bisa berfungsi dalam beberapa situasi, tetapi jika tidak dipantau, rapat dapat berubah menjadi perdebatan kusir. Banyak organisasi sering mengundang terlalu banyak orang untuk menghadiri rapat, termasuk orang-orang yang tidak perlu hadir.  Oleh karena itu, semua orang merasa perlu berbicara, dan pertemuan menjadi terlalu bertele-tele.  Meskipun demikian, beberapa orang tidak perlu terlibat dalam setiap keputusan kecil.

4. Tidak Ada Tindakan Setelah Rapat

    Ini adalah bagian yang paling terserap. Setelah berjam-jam berbicara, pertemuan itu akhirnya berakhir tanpa membuat keputusan yang jelas. Tidak ada yang benar-benar mengetahui siapa yang harus melakukan apa, kapan harus dilakukan, atau bagaimana tindakan selanjutnya akan dilakukan. Jika ini terus terjadi, rapat akan menjadi formalitas yang tidak produktif dan tidak produktif.

5. Ego dan Drama Personal

        Beberapa pertemuan berubah menjadi arena pertengkaran karena keangkuhan yang berlebihan. Ada yang ingin selalu didengar, ada yang tidak mau kalah, dan ada juga yang sengaja membuat suasana menjadi tidak menyenangkan dengan memasukkan masalah pribadi ke dalam percakapan. Tujuan dari rapat seharusnya adalah untuk bekerja sama, bukan untuk menunjukkan siapa yang paling cerdas atau paling berkuasa. Tidak mengherankan jika pertemuan berakhir dengan terjadi tanpa hasil jika kepentingan pribadi lebih penting daripada tujuan organisasi.

Bagaimana Cara Menghentikan Drama Ini?

Kalau Anda ingin rapat organisasi lebih efektif, coba terapkan beberapa langkah ini:

1.  Tetapkan agenda yang jelas sebelum rapat dimulai.

2. Batasi peserta rapat hanya kepada mereka yang benar-benar berkepentingan.

3. Tentukan batas waktu untuk setiap diskusi agar tidak berlarut-larut.

4. Dorong setiap peserta untuk langsung ke inti masalah, tanpa bertele-tele.

5. Pastikan ada keputusan konkret dan tindakan yang jelas setelah rapat.

Jika langkah-langkah ini diterapkan, rapat organisasi Anda tidak akan lagi seperti drama tanpa akhir. Sebaliknya, akan menjadi pertemuan yang efisien, penuh solusi, dan tentu saja tidak membuat lelah.

Jadi, apakah Anda siap mengubah cara rapat organisasi Anda?

PENDIDIKAN JANGAN JADIKAN KELINCI PERCOBAAN KURIKULUM

By Safrin Lamusrin 

    


Sumber Gambar :  https://www.trenopini.com/2021/01/kurikulum-sering-berubah-ke-mana-arah.html

Pendidikan adalah pilar utama kemajuan sebuah bangsa. Ia adalah fondasi yang menopang peradaban, mencetak generasi penerus yang cerdas, berkarakter, dan mampu menjawab tantangan zaman. Namun, sayangnya, dalam beberapa waktu terakhir, kita menyaksikan dinamika yang kurang menggembirakan dalam dunia pendidikan di negeri ini. Alih-alih menjadi ruang pengembangan potensi yang stabil dan terencana, pendidikan kita terkadang terasa seperti arena eksperimen yang terus berubah-ubah, menjadikan siswa dan guru sebagai "kelinci percobaan" dari kebijakan yang belum sepenuhnya teruji.

    Salah satu isu yang paling mencolok adalah frekuensi perubahan kurikulum. Dalam kurun waktu yang relatif singkat, kita telah beberapa kali mengalami pergantian kurikulum dengan berbagai justifikasi. Perubahan yang terlalu sering ini menimbulkan dampak yang signifikan. Bagi siswa, mereka dipaksa untuk terus beradaptasi dengan pendekatan dan materi yang berbeda, tak jarang menimbulkan kebingungan dan kesulitan dalam proses belajar. Guru pun demikian, mereka harus berjibaku dengan beban administrasi baru, pelatihan yang terkadang minim, dan keharusan untuk terus menyesuaikan metode pengajaran dengan kurikulum yang terus berganti. Alih-alih fokus pada peningkatan kualitas pembelajaran, energi dan waktu guru justru terkuras untuk urusan administratif dan adaptasi kurikulum. Perubahan yang terburu-buru ini juga tidak memberikan ruang yang cukup untuk mengevaluasi efektivitas kurikulum sebelumnya, sehingga kita sulit mengukur apakah perubahan yang dilakukan benar-benar membawa perbaikan yang signifikan.

    Ironisnya, seringkali perubahan kebijakan pendidikan ini minim melibatkan suara dari para pelaku utama di lapangan: guru, siswa, praktisi pendidikan, dan bahkan orang tua. Keputusan strategis yang menyangkut masa depan generasi penerus bangsa seolah-olah hanya dirumuskan di ruang-ruang terbatas tanpa mendengarkan aspirasi dan pengalaman mereka yang berinteraksi langsung dengan proses pembelajaran. Padahal, perspektif dari berbagai pihak ini sangat krusial untuk menghasilkan kebijakan yang komprehensif, realistis, dan implementatif. Kebijakan yang lahir tanpa melibatkan stakeholder berpotensi besar menemui kendala di lapangan, bahkan kontraproduktif terhadap tujuan pendidikan itu sendiri.

    Masalah lain yang tak kalah penting adalah implementasi kebijakan yang seringkali tergesa-gesa dan kurang persiapan. Sebuah kebijakan yang baik di atas kertas belum tentu berjalan mulus di lapangan jika tidak didukung oleh persiapan yang matang. Kita sering menyaksikan bagaimana perubahan kurikulum atau kebijakan pendidikan lainnya diumumkan dan diterapkan dalam waktu yang relatif singkat, tanpa memberikan waktu yang cukup bagi sekolah dan guru untuk memahami, mempersiapkan diri, dan mendapatkan pelatihan yang memadai. Akibatnya, implementasi menjadi setengah hati, sumber daya pendukung kurang memadai, dan tujuan dari kebijakan tersebut sulit tercapai secara optimal.

    Ketidakstabilan dalam sistem pendidikan ini tentu berdampak pada psikologis dan akademik siswa. Mereka yang seharusnya belajar dalam lingkungan yang aman, nyaman, dan terprediksi, justru dihadapkan pada ketidakpastian dan keharusan untuk terus beradaptasi. Perubahan yang terus-menerus dapat menimbulkan stres, kebingungan, dan demotivasi, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi hasil belajar dan perkembangan karakter mereka. Pendidikan seharusnya menjadi wahana untuk menumbuhkan potensi secara optimal, bukan menjadi sumber kecemasan dan ketidakpastian.

    Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menyadari bahwa pendidikan bukanlah arena untuk coba-coba. Setiap kebijakan yang diambil harus didasarkan pada kajian yang mendalam, melibatkan seluruh pemangku kepentingan, dan diimplementasikan dengan persiapan yang matang. Proses evaluasi yang komprehensif dan berkelanjutan terhadap setiap kebijakan pendidikan juga menjadi krusial. Perubahan seharusnya didorong oleh hasil evaluasi yang valid dan terukur, bukan sekadar oleh gagasan baru yang belum teruji dampaknya.

    Sudah saatnya kita berhenti menjadikan pendidikan sebagai "kelinci percobaan". Masa depan bangsa ini terlalu berharga untuk dipertaruhkan oleh kebijakan yang terburu-buru dan kurang terencana. Mari kita bersama-sama mengawal kebijakan pendidikan agar lebih stabil, terukur, dan benar-benar berpihak pada kepentingan terbaik siswa dan guru, demi kemajuan generasi penerus bangsa yang kita cintai.

 

Ketimpangan yang Dilanggengkan

 By Akbar R Mokodompit Ilustrasi Karl Marx menulis Das Kapital bukan sekadar untuk menjelaskan bagaimana ekonomi bekerja, tetapi untuk membo...