By Akbar R Mokodompit
Ilustrasi
Karl Marx menulis Das Kapital bukan sekadar untuk
menjelaskan bagaimana ekonomi bekerja, tetapi untuk membongkar logika
eksploitatif yang menjadi jantung dari kapitalisme. Dalam Kapital, Marx
menunjukkan bahwa modal bukanlah sesuatu yang netral. Ia adalah alat bagi kelas
pemilik modal untuk menindas kelas pekerja. Kapitalisme bekerja dengan
menghisap nilai lebih dari tenaga kerja, sehingga keuntungan hanya menumpuk
pada satu kelas, sementara kelas lain hidup dalam ketergantungan dan kemiskinan
yang struktural.
Ketika kita memotret Indonesia hari ini, gagasan Marx
terasa begitu relevan. Meski secara konstitusi Indonesia menyatakan diri
sebagai negara dengan sistem ekonomi kerakyatan, dalam kenyataan sehari-hari,
sistem ekonomi kita sangat kapitalistik. Privatisasi, liberalisasi, dan
penguasaan sumber daya oleh segelintir elite menjadi bukti nyata. Tanah
dikuasai korporasi, sumber daya alam diekspor demi keuntungan perusahaan asing,
dan kaum pekerja terus dibebani sistem kerja fleksibel yang tidak memberikan
jaminan masa depan.
Kelas borjuis di Indonesia tidak hanya terdiri dari para
pemilik modal besar, tetapi juga mencakup politisi, pejabat, dan elite partai
yang berkolaborasi dengan kekuatan ekonomi. Mereka adalah wajah lokal dari
kelas penindas yang digambarkan Marx. Melalui kekuasaan politik, mereka
menentukan arah kebijakan negara—dari undang-undang, anggaran, sampai sistem
pendidikan—yang semuanya berfungsi melanggengkan dominasi ekonomi mereka.
Inilah bentuk kekuasaan kelas dalam wujud nyata: kelas atas membuat sistem,
kelas bawah dipaksa taat.
Sementara itu, kelas pekerja di Indonesia semakin
tercerai-berai. Buruh pabrik, petani gurem, nelayan miskin, hingga pekerja
informal di kota-kota besar, semuanya berada dalam kondisi kerja yang tidak
manusiawi. Upah murah, PHK massal, dan tidak adanya jaminan sosial menjadi
masalah sehari-hari. Mereka dihisap secara ekonomi, sekaligus dijauhkan dari
kesadaran kelas. Negara tak hadir sebagai pelindung, melainkan sebagai pelayan
kepentingan modal.
Sayangnya, banyak dari masyarakat Indonesia telah terseret
dalam ilusi mobilitas sosial palsu. Ketika seseorang berhasil naik secara
ekonomi, ia dianggap berhasil secara individual, tanpa menyadari bahwa sistemnya
tetap timpang dan menindas yang lain. Kapitalisme di Indonesia bukan hanya
menciptakan ketimpangan ekonomi, tapi juga ketimpangan kesadaran.
Marx menulis Kapital untuk menunjukkan bagaimana sistem
ekonomi tidak bisa dilepaskan dari relasi kuasa. Dan Indonesia hari ini adalah
cermin dari peringatan Marx: ketika negara membiarkan segelintir orang
menguasai alat produksi, maka hukum, moralitas, bahkan pendidikan akan dibentuk
sesuai kepentingan mereka.
Dalam kondisi seperti ini, perjuangan kelas bukan lagi romantisme ideologis, tapi kebutuhan untuk bertahan hidup. Maka yang perlu dibangkitkan bukan hanya kesadaran akan ketimpangan, tetapi juga keberanian untuk menantangnya. Sebab jika rakyat tidak sadar mereka sedang ditindas, maka sistem akan terus berjalan dengan tenang, dan ketidakadilan akan dianggap sebagai kewajaran.