Minggu, 03 Agustus 2025

79 Tahun Merdeka: Milik Rakyat atau Penguasa?

 By Akbar Mokodompit 


Gambar Dihasilakan oleh AI 

Indonesia berusia 79 tahun. Tapi pertanyaan mendasar tetap menggantung: kemerdekaan ini milik siapa? Rakyat atau penguasa?

Di tengah gegap gempita lomba, upacara, dan parade militer, ada ironi yang tak bisa ditutupi: suara rakyat makin sayup. Mereka kian jauh dari panggung kekuasaan, sementara elite sibuk membangun citra dan menormalisasi penindasan atas nama “pembangunan.” Rakyat yang mestinya pemilik sah kemerdekaan justru tersingkir. Buruh dipaksa tunduk pada sistem kerja eksploitatif. Petani digusur demi investasi asing. Masyarakat adat diusir dari tanah leluhurnya. Kaum miskin kota disapu bersih oleh proyek mercusuar. Semua ini berlangsung di bawah bendera yang katanya melambangkan semangat proklamasi. Nama rakyat terus dijadikan legitimasi kekuasaan, tapi kepentingan mereka dikhianati. Kemerdekaan bukan sekadar tanggal di kalender. Ia adalah ruang hidup yang adil, bebas, dan setara. Tapi kini kemerdekaan direduksi menjadi slogan kosong dalam pidato pejabat. Negara berubah dari alat pembebas menjadi mesin kekuasaan yang melanggengkan dominasi oligarki. Demokrasi direduksi jadi prosedur manipulatif, di mana rakyat hanya dibutuhkan sebagai angka, bukan subjek berdaulat.

Di balik proyek-proyek raksasa, ada tangis petani yang gagal panen, nelayan yang tak bisa melaut karena lautnya dijual, mahasiswa yang dibungkam karena menyuarakan kebenaran. Pendidikan jadi komoditas, media dikooptasi korporasi, suara kritis dianggap ancaman. Ini bukan kegagalan pemerintahan semata, tapi kegagalan struktural yang merampas makna kemerdekaan dari tangan rakyat. Kemerdekaan sejati tak berhenti pada bebas dari penjajah. Ia harus berarti pembebasan dari segala ketidakadilan. Tapi selama penguasa menindas yang lemah, selama hukum jadi pelindung oligarki, 79 tahun kemerdekaan hanya tinggal angka. Yang kita rayakan bukan kemenangan rakyat, melainkan kemenangan elite atas diamnya massa.

Jika kemerdekaan terus jadi euforia tanpa refleksi, kita harus berani berkata: Indonesia belum benar-benar merdeka. Sudah saatnya rakyat merebut kembali makna kemerdekaan bukan dengan senjata, tapi dengan kesadaran, keberanian, dan perlawanan. Tanpa itu, Indonesia akan terus menua, tapi gagal dewasa sebagai bangsa.

 

Sabtu, 02 Agustus 2025

Langkah Kecil, Mimpi Besar: Kisah Perjuangan Rumiati

 By. Rumiati A. Ismail


Foto : Rumiati A. Ismali

Namaku Rumiati A. Ismail. Aku lahir di sebuah desa kecil di Kabupaten Buol, Provinsi Sulawesi Tengah, pada 20 April 2006. Aku adalah anak perempuan pertama dari empat bersaudara, dengan tiga adik laki-laki. Aku dibesarkan oleh seorang ibu hebat yang mengajarkanku arti ketulusan, dan seorang ayah yang diam-diam memendam lelahnya demi melihat kami, anak-anaknya, hidup bahagia.

Sejak kecil, aku memiliki mimpi besar, meski tumbuh di lingkungan dan keluarga yang serba terbatas. Sebagai anak pertama, aku sadar memiliki tanggung jawab untuk menjadi teladan bagi adik-adikku. Kesadaran itu menguatkanku untuk berjuang lebih keras, mengubah keadaan, dan menghadiahkan kehidupan yang lebih baik bagi orang tuaku dan adik-adikku.

Mimpiku sederhana: menjadi sarjana pertama dalam keluargaku dan membanggakan orang tuaku. Aku ingin membuktikan bahwa anak desa sepertiku juga bisa sukses dan mengubah nasib melalui pendidikan. Bagiku, kuliah bukan sekadar belajar, tetapi perjalanan panjang tentang perjuangan dan harapan.

Namun, jalan menuju mimpi itu tak selalu mulus. Aku tahu kondisi keluargaku mungkin tak mampu membiayai pendidikanku, melihat bagaimana kedua orang tuaku sudah berjuang keras hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tapi aku meyakinkan diriku bahwa mimpi ini layak diperjuangkan, apa pun rintangannya.

Beasiswa menjadi jawaban dari usaha dan doa yang tak pernah berhenti kupanjatkan. Dengan beasiswa, aku bisa melanjutkan pendidikan dan melangkah lebih dekat menuju mimpiku. Aku sadar, ini bukan hanya tentang diriku, tetapi tentang harapan besar kedua orang tuaku.

Kini aku melangkah setahap demi setahap, menempuh pendidikan di Universitas Negeri Gorontalo kampus yang menjadi impian banyak orang. Hidup di kota orang mengajarkanku banyak hal: tentang rindu yang terus menggantung pada keluarga, dan tentang belajar mandiri menghadapi segala keterbatasan. Aku percaya, selama ada usaha, doa orang tua, dan hati yang kuat, jalan menuju mimpi itu akan selalu ada.

Menjadi anak perempuan pertama mengajarkanku untuk tumbuh lebih kuat sebelum waktunya dan dewasa sebelum semestinya. Di tengah segala keterbatasan, aku menggenggam satu mimpi sederhana: menjadi sarjana pendidikan pertama dalam keluargaku. Bukan sekadar meraih gelar, tetapi untuk membuktikan bahwa anak dari keluarga sederhana juga layak berdiri dengan bangga di hadapan orang tuanya.

79 Tahun Merdeka: Milik Rakyat atau Penguasa?

  By Akbar Mokodompit  Gambar Dihasilakan oleh AI  Indonesia berusia 79 tahun. Tapi pertanyaan mendasar tetap menggantung: kemerdekaan ini m...