By Akbar Mokodompit
Indonesia berusia 79 tahun. Tapi pertanyaan mendasar tetap
menggantung: kemerdekaan ini milik siapa? Rakyat atau penguasa?
Di tengah gegap gempita lomba, upacara, dan parade militer,
ada ironi yang tak bisa ditutupi: suara rakyat makin sayup. Mereka kian jauh
dari panggung kekuasaan, sementara elite sibuk membangun citra dan
menormalisasi penindasan atas nama “pembangunan.” Rakyat yang mestinya pemilik
sah kemerdekaan justru tersingkir. Buruh dipaksa tunduk pada sistem kerja
eksploitatif. Petani digusur demi investasi asing. Masyarakat adat diusir dari
tanah leluhurnya. Kaum miskin kota disapu bersih oleh proyek mercusuar. Semua
ini berlangsung di bawah bendera yang katanya melambangkan semangat proklamasi.
Nama rakyat terus dijadikan legitimasi kekuasaan, tapi kepentingan mereka
dikhianati. Kemerdekaan bukan sekadar tanggal di kalender. Ia adalah ruang
hidup yang adil, bebas, dan setara. Tapi kini kemerdekaan direduksi menjadi
slogan kosong dalam pidato pejabat. Negara berubah dari alat pembebas menjadi
mesin kekuasaan yang melanggengkan dominasi oligarki. Demokrasi direduksi jadi
prosedur manipulatif, di mana rakyat hanya dibutuhkan sebagai angka, bukan
subjek berdaulat.
Di balik proyek-proyek raksasa, ada tangis petani yang
gagal panen, nelayan yang tak bisa melaut karena lautnya dijual, mahasiswa yang
dibungkam karena menyuarakan kebenaran. Pendidikan jadi komoditas, media
dikooptasi korporasi, suara kritis dianggap ancaman. Ini bukan kegagalan
pemerintahan semata, tapi kegagalan struktural yang merampas makna kemerdekaan
dari tangan rakyat. Kemerdekaan sejati tak berhenti pada bebas dari penjajah.
Ia harus berarti pembebasan dari segala ketidakadilan. Tapi selama penguasa
menindas yang lemah, selama hukum jadi pelindung oligarki, 79 tahun kemerdekaan
hanya tinggal angka. Yang kita rayakan bukan kemenangan rakyat, melainkan kemenangan
elite atas diamnya massa.
Jika kemerdekaan terus jadi euforia tanpa refleksi, kita
harus berani berkata: Indonesia belum benar-benar merdeka. Sudah saatnya rakyat
merebut kembali makna kemerdekaan bukan dengan senjata, tapi dengan kesadaran,
keberanian, dan perlawanan. Tanpa itu, Indonesia akan terus menua, tapi gagal
dewasa sebagai bangsa.