Selasa, 24 Juni 2025

INKONSITENSI DAN DINAMIKA KURIKULUM PENDIDIKAN INDONESIA

 


Oleh : Yasrin A. Abas

Indonesia merupakan salah satu negara yang menunjukkan frekuensi perubahan kurikulum yang relatif tinggi, terutama dalam kaitannya dengan dinamika perubahan kepemimpinan dan kebijakan politik nasional. Sejak kemerdekaan, sistem pendidikan Indonesia telah mengalami setidaknya sepuluh kali pergantian kurikulum, yaitu: Kurikulum 1947, Kurikulum 1952, Kurikulum 1964, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 beserta Suplemen Kurikulum 1999, Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi), Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), Kurikulum 2013 (K-13), hingga Kurikulum Merdeka yang mulai diimplementasikan pada tahun ajaran 2022/2023.

 Ketidakkonsistenan dalam penerapan kurikulum nasional menimbulkan risiko yang signifikan terhadap proses pembelajaran peserta didik di Indonesia. Salah satu dampak yang paling sering muncul di lingkungan sekolah adalah kebingungan siswa dalam memahami materi serta meningkatnya kesulitan dalam mengikuti proses belajar mengajar. Ketidakstabilan kurikulum juga berkontribusi terhadap kesenjangan pengetahuan, baik antar generasi siswa maupun antar wilayah, khususnya ketika mereka dihadapkan pada tuntutan pembelajaran baru yang belum diimbangi dengan kesiapan sistem pendukung yang memadai. Pergantian kurikulum yang tidak disertai dengan proses transisi yang efektif dapat memperburuk ketimpangan mutu pendidikan dan membebani peserta didik dengan penyesuaian yang terlalu cepat.

              Salah satu permasalahan mendasar dalam sistem pendidikan di Indonesia adalah kurangnya integrasi antara materi teoretis yang diajarkan di kelas dan penerapannya dalam konteks kehidupan nyata. Banyak peserta didik merasakan bahwa isi kurikulum cenderung bersifat abstrak dan kurang relevan dengan permasalahan praktis yang mereka hadapi sehari-hari. Studi yang dilakukan oleh Rina et al. (2022) dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan mengungkapkan bahwa sekitar 70% siswa merasa belum siap memasuki dunia kerja setelah menyelesaikan pendidikan formal. Temuan ini menunjukkan bahwa kurikulum yang diterapkan belum secara optimal membekali siswa dengan kompetensi dan keterampilan kontekstual yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan masa depan, termasuk dalam aspek profesional maupun sosial.

Selain itu, frekuensi perubahan kurikulum yang cukup tinggi turut menjadi faktor yang mengganggu kontinuitas proses pendidikan di Indonesia. Setiap kali terjadi pergantian kurikulum, pendidik memerlukan waktu dan pelatihan khusus untuk memahami serta mengimplementasikan kurikulum yang baru, sementara peserta didik dituntut untuk segera beradaptasi dengan materi pembelajaran yang sering kali berbeda dari sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Santoso dan Rahmawati (2021) menunjukkan bahwa ketidakstabilan kurikulum dapat berdampak negatif terhadap kualitas pembelajaran dan berkontribusi pada menurunnya minat siswa terhadap proses pendidikan. Dengan demikian, diperlukan analisis yang komprehensif terhadap implementasi kurikulum yang sedang berlaku, guna merumuskan solusi yang lebih tepat untuk meningkatkan relevansi dan efektivitas pendidikan nasional.

 Permasalahan kedua yang menjadi hambatan dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia adalah adanya kecenderungan untuk mempolitisasi berbagai aspek kehidupan, termasuk sektor pendidikan. Politisasi ini menciptakan jurang yang dalam bagi kemajuan bangsa karena mengganggu arah dan konsistensi kebijakan yang telah dirancang sebelumnya. Sistem pendidikan, sebagai fondasi utama pembangunan bangsa dan pembentukan generasi penerus, menjadi salah satu sektor yang paling terdampak. Pendidikan memegang peran krusial dalam menentukan masa depan bangsa, sebab tongkat estafet kepemimpinan dan pembangunan akan diwariskan kepada generasi muda. Oleh karena itu, peningkatan kualitas SDM harus menjadi prioritas utama, khususnya bagi pemerintah dan Kementerian Pendidikan. Ketimpangan kualitas SDM di berbagai wilayah juga menimbulkan konsekuensi tersendiri terhadap pertumbuhan dan perkembangan negara secara keseluruhan.

  Situasi ini menjadi persoalan besar dalam dunia pendidikan, sehingga dibutuhkan kemandirian kurikulum sebagai respons terhadap kecenderungan penggunaan kurikulum untuk kepentingan politik di Indonesia. Kemandirian kurikulum merujuk pada sistem kurikulum yang terbebas dari intervensi kepentingan politik jangka pendek, dan lebih berorientasi pada kebutuhan serta kepentingan peserta didik. Upaya menuju kemandirian ini dapat diwujudkan melalui pelibatan berbagai pemangku kepentingan seperti pendidik, ahli pendidikan, akademisi, serta masyarakat dalam proses perumusan dan evaluasi kurikulum. Pelibatan tersebut akan memastikan bahwa kurikulum yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kebutuhan nyata di lapangan serta aspirasi peserta didik, bukan sekadar agenda politik kelompok tertentu. Di samping itu, prinsip transparansi dalam proses perumusan kurikulum juga sangat penting. Dengan adanya keterbukaan informasi, masyarakat dapat mengawal dan memahami proses pengambilan keputusan kurikulum, sehingga mencegah potensi manipulasi kurikulum untuk tujuan politik yang mengabaikan kepentingan pendidikan secara substansial.

 Secara konseptual, kajian politik pendidikan berfokus pada peran negara dalam mengelola dan mengarahkan sistem pendidikan. Kajian ini bertujuan untuk menjelaskan asumsi, kepentingan, serta strategi perubahan pendidikan dalam konteks masyarakat secara lebih mendalam. Melalui pendekatan ini, kita dapat memahami keterkaitan antara kebutuhan politik negara dan isu-isu praktis yang terjadi di sekolah, seperti kesadaran kelas, serta bentuk-bentuk dominasi dan subordinasi yang dibangun melalui sistem pendidikan. Dalam konteks Indonesia, dinamika perubahan kurikulum mencerminkan realitas politik dan tantangan struktural yang dihadapi oleh sistem pendidikan nasional. Meskipun perubahan kurikulum sering kali didorong oleh keinginan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan menyiapkan peserta didik menghadapi masa depan yang semakin kompleks, frekuensi perubahan yang terlalu tinggi justru dapat mengganggu stabilitas, konsistensi, dan efektivitas proses pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu, pemahaman terhadap politik pendidikan menjadi penting agar setiap kebijakan kurikulum tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga reflektif dan berkelanjutan.

 Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, mendefinisikan pendidikan sebagai proses tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak, dengan tujuan untuk mengarahkan seluruh potensi kodrati yang dimiliki anak agar mereka, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Pandangan ini menegaskan bahwa esensi pendidikan bukan sekadar mentransfer pengetahuan, tetapi juga membentuk manusia seutuhnya yang mampu hidup bermakna dalam masyarakat. Oleh karena itu, segala bentuk perubahan kebijakan, termasuk perubahan kurikulum, seharusnya tidak terjebak dalam kepentingan sesaat atau politis, melainkan berorientasi pada pengembangan potensi peserta didik secara holistik. Dalam konteks inilah, penting untuk menata sistem pendidikan yang konsisten, relevan, dan berkelanjutan guna mewujudkan cita-cita pendidikan nasional sebagaimana digariskan oleh Ki Hajar Dewantara.


PERKENALAN

PERKENALAN BLOG HMJ IHK PPKN      Blog ini merupakan media resmi yang berada di bawah naungan Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum dan Kema...